Menemukan Perasaan Cukup
oleh Sofyan RH. Zaid*
“Sesungguhnya manusia itu menjadi kaya bila dia zuhud, dan menjadi miskin bila dia rakus atau cinta pada dunia.” (Sufyan ats-Tsauri)
Dalam Islam, miskin tidak dipandang dari sedikitnya harta dan kaya tidak dilihat dari banyaknya harta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan/kecukupan (dalam) jiwa (hati).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaya atau miskin tolak ukurnya bukanlah harta, melainkan rasa, rasa berhubungan erat dengan jiwa. Kita tahu banyak orang yang mempunyai harta melimpah, namun masih merasa “tidak merasa cukup”. Dia sibuk bekerja siang malam mengumpulkan harta tanpa memerdulikan keluarga dan agama; halal atau haram, tanpa ada waktu untuk menyembah atau bersyukur. Sesungguhnya orang-orang tersebut termasuk golongan miskin karena kerakusannya. Rasulullah SAW bersabda:
“Seandainya anak (keturunan) Adam diberi satu lembah emas niscaya dia masih akan menginginkan yang kedua. Jika diberi lembah emas yang kedua maka dia menginginkan lembah emas ketiga. Tidak akan pernah menyumbat mulutnya selain tanah” (HR. Al-Bukhari)
Di sisi lain, banyak orang yang mempunyai sedikit harta, namun “merasa cukup” dan banyak bersyukur atas rezeki yang diberikan Allah. Dia tidak gelisah dengan jumlah harta yang dimiliki, ada banyak waktu untuk keluarga dan agama; senantiasa beribadah dan bahagia lahir batin. Sesungguhnya orang-orang tersebut termasuk golongan kaya.
Intinya “perasaan cukup” memegang peranan penting dalam kehidupan manusia dan sikapnya terhadap harta. Namun harus kita sadari, bahwa “perasaan cukup” sudah mulai langka dalam kehidupan modern saat ini. Banyak orang sudah lama membuang kata “cukup” dari kamus hidupnya, dan yang tersisa hanyalah kata “kurang”. Wajar jika Ibnu Taimiyyah menyimpulkan bahwa manusia akan merdeka ketika dia merasa cukup (qana’ah) dan menjadi budak ketika dia selalu merasa tidak cukup (tamak).
Lalu dimakah kita dapat menemukan “perasaan cukup”? Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menunjukkan kepadanya jalan keluar dari kesusahan, dan diberikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka, dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, nescaya Allah mencukupkan kebutuhannya.” (QS. At-Talaq: 2-3)
Ayat
tersebut merupakan kunci sukses seorang muslim dalam hidupnya. Bagaimana kita
giat bekerja sehari-hari tanpa perlu meninggalkan shalat lima waktu. Bagaimana
kita semangat berbisnis tanpa perlu ada riba dan maysir. Dalam
ketakwaan, Allah telah menjanjikan solusi dan rezeki yang halal. Kita tidak
perlu menukar ketakwaan kita dengan keuntungan dunia semata. Ayat tersebut juga
menunjukkan bahwa dengan tawakal, Allah akan mencukupkan kebutuhan kita. Maka,
di dalam tawakal kita akan menemukan “perasaan cukup” tersebut.
Bagi al-Ghazali, tawakal adalah menyandarkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, termasuk dalam berusaha atau bekerja. Secara sederhana, tawakal di sini mengandung dua makna, pasrah dan usaha, pasrah kepada Allah setelah kita berusaha secara maksimal. Pasrah dalam artian tidak berharap pada selain Allah, atau dengan kata lain; merasa cukup Allah sebagai Tuhan dan penolong kita. Sedangkan usaha dalam mencari rezeki Allah mempunyai dua dimensi:
- Rezeki yang diberikan Allah secara langsung, di mana kita harus berusaha, baik bekerja atau berniaga. Orang yang membutuhkan kayu bakar maka, berusahalah dengan cara mencarinya ke dalam hutan. Dalam hal ini kita mendapatkan rezeki ‘karena’ usaha kita sendiri.
- Rezeki yang diberikan Allah secara tidak langsung, di mana kita harus
berusaha tidak membiarkan keserakahan memonopoli sumber daya ekonomi yang
ada. Sesungguhnya pada sejumlah harta yang ada terdapat sebagian hak orang
lain yang harus dikeluarkan. Dalam hal ini kita mendapatkan rezeki melalui
orang lain, misalnya mustahik menerima zakat dari muzakki.
“Perasaan cukup” berimplikasi pada dua dimensi tersebut, merasa cukup dengan bersandar kepada Allah dan atas rezeki yang kita terima dari usaha kita sendiri. Merasa cukup dengan harta yang kita miliki sehingga mudah mengeluarkan sebagian harta yang menjadi hak orang lain, baik melalui zakat, infak, sedekah atau wakaf. Kenapa kita harus punya “perasaan cukup” dalam kehidupan dunia atas harta yang kita miliki? Agar kita mampu bersyukur dan memiliki kesempatan untuk bahagia di dunia yang sementara ini, serta ingatlah sumpah Rasulullah SAW:
“Demi Allâh. Bukanlah kemiskinan yang saya takutkan pada kalian. Akan tetapi yang saya takutkan pada kalian adalah dunia dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkan kepada orang-orang sebelum kalian. Sehingga kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka berlomba-lomba mengejarnya dan dunia akan menghancurkan kalian sebagaimana ia telah menghancurkan mereka.” (HR. al-Bukhâri dan Muslim)
Bekasi, 13
Februari 2017
*Alumnus MTs. Miftahul Ulum 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar